Senin, 28 November 2011

Kebudayaan Jawa

Bahasa Orang Jawa
Bahasa Kesusastraan dan Bahasa Sehari-hari. Bahasa orang jawa tergolong sub-keluarga Hesperonesia dari keluarga bahasa Malayo-Polinesia (Murdock 1964: 222). Bahasa kesusastraan  yang secara kronologi dapat dibagi kedalam enam fase seperti yang tersebut dibawah ini:
1.      Bahasa Jawa Kuno, yang dipakai dalam prasasti-prasasti kraton pada zaman antara abad ke-8 dan ke-10. Dipahat pada batu atau ukir pada perunggu , dengan bahasa seperti yang digunakan dalam karya-karya kesusastraan kuno abad ke-10 hingga ke-14.
2.      Bahasa Jawa Kuno yang dipergunakan dalam kesusteraaan Jawa-Bali. Kesusasteraan ini ditulis di Bali dan di Lombok sejak abad ke-14. Kemudian dengan tibanya Islam di Jawa Timur, kebudayaan Hindu-Jawa pindah ke Bali dimana kebudayaan itu menjadi  mantap dalam abad ke-16. Bahasa kesusasteraan ini hidup terus sampai abad ke-20, tetapi ada perbedaan yang pokok dengan bahasa yang digunakan sehari-hari di Bali sekarang.
3.       Bahasa yang dipergunakan dalam kesusasteraan Islam di Jawa Timur. Ditulis zaman berkembangnya kebudayaan Islam yang menggantikan kebudayaan Hindu-Jawa di daerah aliran Sungai Brantas dan daerah hilir Sungai Bengawan Solo dalam abad ke-16 dan ke-17.
4.       Bahasa kesusasteraan kebudayaan Jawa-Islam di daerah Pesisir. Kebudayaan yang berkembang di pusat-pusat  agama di kota-kota pantai utara Pulau Jawa dalam abad ke-17 dan ke-18, oleh orang Jawa sendiri disebut kebudayaan pesisir.
5.       Bahasa kesusasteraan di Kerajaan Mataram. Bahasa ini, bahasa yang dipakai dalam karya-karya kesusasteraan karangan para pujangga keratin Kerajaan Mataram abad ke-18 dan ke-19, yang terletak di daerah aliran Sungai Bengawan Solo di tengah complex Pegunungan Merapi-Merbabu-Lawu di Jawa tengah.
6.       Bahas Jawa masakini, bahasa yang dipakai dalam percakapan sehar-hari dalam masyarakat orang Jawa dan dalam buku-buku serta surat-surat kabar berbahasa Jawa dalam abad ke-20 ini.
Tulisan Jawa. Sepanjang sejarah kesusastraan Jawa yang oanjang itu orang jawa telah mengenal berbagai tulisan asli. Ada legenda yang menerangkan mengenai asal mula penduduk Jawa yang tertua dan mengenai masuknya kebudayaan Jawa di Pulau Jawa. Menerangkan bahwa penggunaan tulisan Jawa merupakan unsur penting dari kebudayaan itu. Menceritakan kisah Pangeran Ajisaka menerangkan arti kalimat yang muncul dari susunan abjad Jawa yang terdiri dari duapuluh huruf, yakni “Hanacarakadatasawalapadhajayanyamagabathanga”.
Menurut ahli epigrafi, tulisan Jawa berasal dari bentuk tulisan Sanserketa Dewanegari dari India Selatan yang terdapat pada prasasti-prasasti yang berasal dari Dinasti Palawa yang menguasai daerah-daerah pantai India Selatan pada abad ke-4. Dengan demikian tulisan ini juga dinamakan tulisan Palawa.

Kesusasteraan Jawa. Sudah disebutkan bahwa bahasa Jawa mempunyai suatu tradisi kesusasteraan sejak abad ke-8, dan bahwa didalam berbagai periode dan pusat kebudayaan Jawa telah muncul pula berbagai tradisi kesusasteraan yang berbeda-beda.
Beberapa Gaya Bahasa Jawa: Bahasa yang digunakan dalam karya-karya kesusasteraan zaman Kerajaan Mataram akhir abad ke-19, terutama bahasa Jawa yang dipergunakan sebagai bahasa pergaulan abad ke-20, ditandai oleh suatu system tingkat-tingkat yang sangat rumit, terdiri dari paling sedikit Sembilan gaya bahasa. Menurut analisa linguistic, unsur-unsuryang menyebabkan berbagai gaya itu dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu: 1.) perbedaan morfologi yang disebabkan karena penggunaan awalan atau akhiran yang lain, 2) perbedaan sinkritisme kerena penggunaan sinonim yang lain, partikel yang lain, kata ganti orang lain, atau kata penunjuk yang lain. Kecuali ketiga gaya yang paling dasar, yaitu gaya tak-resmi, gaya setengah-resmi, dan gaya resmi (yaitu ngoko, madya dan krami).
Seperti dalam semua bahasa lain, tentu ada juga kata-kata kasar (tembung kasar) yang dipakai apabila orang sedang marah atau bila seseorang sengaja ingin menghina orang lain. Tembung kasar itu tidak termasuk salah satu dari kesembilan gaya bertingkat itu (Soepomo Poedjosoedarmo 1968: 64).
Adat sopan santun Jawa menuntut penggunaan gaya bahasa yang tepat, tergantung dari tipe interaksi tertentu, memaksa orang untuk terlebih dahulu menentukan setepat mungkin kedudukan orang yang diajak berbicara dalam hubungandengan kedudukannya sendiri. Sebelum Perang Dunia I mobilitas sosial akibat pendidikan dan kemajuan ekonomi mengacaukan tingkat-tingkat sosial Jawa tradisional berdasarkan kelas.
Sejak tahun 1916 ada suatu gerakan bernama Djawa Dipo yang dirintis oleh orang-orang Jawa yang bersemangat progresif, yang ingin menghapuskan gaya-gaya bertingkat dalam ujaran bahas Jawa, dan hanya menggunakan Ngoko sebagai bahasa dasar.
Perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam masyarakat orang Jawa sesudah Perang Dunia II mempunyai pengaruh yang lebih besar lagi terhadap system gaya-gaya bertingkat dalam bahasa Jawa. Kebanyakan orang Jawa yanglahir pada zaman itu tidak lagi berusaha menguasai system yang rumit itu.

Logat-logat Bahasa Jawa. Kecuali perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam gaya-gaya bertingkat yang disebabkan karena perbedaan kelas, kedudukan, pangkat dan senioritas, bahasa Jawa juga mempunyai berbagai logat berdasarkan perbedaan geografi.
Sesuai dengan keadaan geografi fisik Pulau Jawa, maka kita dapat membedakan sub-daerah linguistic yang masing-masing mengembangkan logat bahasa Jawa yang perbedaannya antarayang satu dengan yang lain terlihat jelas sekali.
Di bagian barat daerah kebudayaan Jawa terdapat daerah aliran Sungai yang berasal dari complex Pegunungan Dieng-Sundoro-Sumbing yang mengalir berkelok-kelok kea rah barat-daya sebelum akhirnya bermuara di Samudra Hindia di sebelah selatan Pulau Jawa. Orang-orang Jawa yang tinggal di daerah aliran sungai ini mengucapkan suatu logat Banyumas yang khas, dalam logat mana vocal bawah belakang dalam bahasa Jawa umum diucapkan sebagai vocal bawah tengah, yang sering kali diakhiri denganpita suara tutup pada akhir kata.
Di daerah aliran Sungai Opakdan Praga, dan di hulu Sungai Bengawan Solo, di tengah-tengah complex gunung-gunung berapi Merapi-Merbabu-Lawu dipergunakan logat Jawa Tengah Solo-Yogya. Daerah ini merupakan daerah pusat kebudayaan Jawa-Kraton, yang dianggap sebagai sumber dan nilai-nilai dan norma-norma Jawa. Logat Solo-Yogya dianggap sebagai “bahasa Jawayang beradab”.
Di sebelah utara daerah ini terdapat logat Jawa Pesisir yang dipergunakan di kota-kota daerah pantai utara. Logat ini tidak jauh berbeda dari logat Solo-Yogya, kecuali penggunaan gaya-gaya bertingkat dalam ujarannya yang rumit (Vooren 1892; Walbeehm 1895; 1897)
Sebelah timur daerah sub-kebudayaan Jawa Tengah adalah daerah Sungai Brantas,yang juga melingkupi daerah-daerahsekitar kota Madiun dan Kediri dibagian baratnya, dan kota Malang, Lumajang dan Jember dibagian timurnya. Logat yang diucapkan daerah itu sangat dipengaruhi oleh logat Solo-Yogya, dan bahkan mirip sekali (Hinloopen Labberton 1900; Adam 1937-40)
Bahasa Jawa yang dipakai di daerah pantai Jawa Timur sangat banyak dipengaruhi bahasa Madura, yakni suatu bahasa yang sama sekali berbeda dengan bahasa Jawa, sedangkan bahasa yang dipergunakan di ujung timur Pulau Jawa yakni Banyuwangi dan Blambangan, banyak di pengaruhi oleh bahasa Bali.
Di ujung sebelah barat Pulau Jawa, yaitu disebelah barat daerah kabudayaan Sunda, terdapat logat Banten yang merupakan suatu logat bahasa jawa yang Khas. Daerahnya mencakup daerah sebelah barat kota Jakarta hingga kota Merak, dan sebelah selatan berbatasan dangan kota Rangkas-bitung dan Pandeglang. Penduduk ini berbicara dengan dua bahasa (bilingual). Yakni bahasa Jawa-Banten dan Sunda, tetapi kota Serang yang merupakan ibukota daerah itu, terutama dipakai bahasa Sunda. 

Keaneka-Ragaman Regional dari Kebudayaan Jawa
Paling tidak menurut pandangan orang Jawa sendiri, kebudayaannya tidak merupakan suatu kesatuan yang homogen. Mereka sadar akan adanya suatu keaneka-ragaman yang sifatnya regional,sepanjang daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Orang Jawa terutama memiliki pandangan yang sudah pasti mengenai kebudayaan Banyumas yang daerahnya meliputi bagian barat daerah kebudayaan Jawa. Lebih khusus bangian tenggaranya dan daerag Bagelen dapat dipandang sebagai dua sub-daerah kebudayaan kecuali logat Bnayumas yang sangat berbeda.
Kebudayaan Jawa yang hidup di kota-kota Yogya dan Solo merupakan peradaban orang Jawa yang berakar di kraton. Perbedaan ini merupakan suatu sejarah kesusasteraan yang telah ada sejak empat abad yanglalu, dan memiliki kesenian yang maju berupa tari-tarian dan seni suara kraton, serta yang ditandai oleh suatu kehidupan keagamaan yang sangat sinkritistik, campuran dari unsur-unsur agama Hindu, Budha, dan Islam. Terutama di kota kraton Solo, dimana berkembang berpuluh-puluh gerakan keagamaan yang kontemporer, yang disebut gerakan kebatinan. Daerah istana-istana Jawasering disebut Nagarigung.

1 komentar: