Sabtu, 14 Januari 2012

SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU YANG MEMPELAJARI MASYARAKAT DAN LINGKUNGAN

Standar Kompetensi:
Memahami sosiologi sebagai ilmu yang mengkaji hubungan masyarakat dan
Lingkungan.

1.1 Definisi Sosiologi
a. Berdasarkan etimologi (kebahasaan/asal kata)
Secara kebahasaan nama sosiologi berasal dari kata socious, yang artinya ”kawan” atau ”teman” dan logos, yang artinya ”kata”, ”berbicara”, atau ”ilmu”, dengan demikian Sosiologi berarti berbicara atau ilmu tentang kawan. Kawan dalam pengertian ini memiliki makna yang luas, tidak seperti dalam pengertian seharihari, yang mana kawan hanya digunakan untuk menunjuk hubungan di anatra dua orang atau lebih yang berusaha atau bekerja bersama atau saling membantu,
di sini kawan meliputi seluruh macam hubungan antar-manusia secara individu maupun kelompok, baik yang mendekatkan maupun yang menjauhkan, baik yang berbentuk kerjasama maupun yang berupa permusuhan atau konflik.
Berdasarkan uraian di atas, sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang berbagai hubungan antar-manusia yang terjadi di dalam masyarakat. Hubungan antar manusia dalam masyarakat disebut hubungan sosial, sehingga sosiologi secara singkat dapat dirumuskan sebagai ilmu tentang masyarakat dan hubungan sosial.



b. Definisi menurut para ahli sosiologi
Secara umum sosiologi dapat diberi batasan sebagai studi tentang kehidupan sosial manusia dan kelompok atau masyarakat.
Berikut dikemukakan definisi sosiologi dari beberapa ahli sosiologi.
·       Van der Zanden memberikan batasan bahwa sosiologi merupakan studi ilmiah tentang interaksi antar-manusia.
·         Roucek dan Warren mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari
hubungan antar-manusia dalam kelompok.
·         Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari: (1) hubungan dan pengaruh timbal-balik antara aneka macam gejala sosial, misalnya gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik, dan sebagainya, (2) hubungan dan pengaruh timbal-balik antara gejala sosial dengan gejala nonsosial, misalnya pengaruh iklim terhadap watak manusia, pengaruh kesuburan tanah terhadap pola migrasi, dan sebagainya, dan (3) ciri-ciri umum dari semua jenis gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat.
·         Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi dalam bukunya yang berjudul Setangkai Bunga Sosiologi menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.
Struktur sosial merupakan jalinan atau konfigurasi unsur-unsur sosial yang pokok dalam masyarakat, seperti: kelompok-kelompok sosial, kelas-kelas sosial, kekuasaan dan wewenang, lembaga-lembaga sosial maupun nilai dan norma sosial. Proses sosial merupakan hubungan timbal-balik di antara unsur-unsur atau bidang-bidang kehidupan dalam masyarakat melalui interaksi antar-warga masyarakat dan kelompok-kelompok. Sedangkan perubahan sosial meliputi perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur sosial dan proses-proses sosial.



1.2 Sejarah dan Perkembangan Sosiologi
a. Sejarah kelahiran sosiologi
Sebagai ilmu, sosiologi masih cukup muda, bahkan paling muda di antara ilmu-ilmu sosial yang lain. Walaupun sebenarnya pada akhir abad pertengahan adalah seorang tokoh bernama Ibnu Khaldun (1332-1406), yang mengemukakan tentang beberapa prinsip pokok untuk menafsirkan kejadian-kejadian sosial dan peristiwa-peristiwa sejarah. Menurut beberapa sosiolog, Ibnu Khaldun lah yang lebih tepat sebagai Bapak Sosiologi, karena jauh sebelum Comte ia telah mengemukakan tentang prinsip-prinsip sosiologi dalam bukunya yang berjudul Muqodimah. Namun, tokoh yang oleh banyak pihak dianggap sebagai Bapak Sosiologi adalah Auguste Comte, seorang ahli filsafat dari Perancis yang lahir pada tahun 1798 dan meninggal pada tahun 1853.
Auguste Comte mencetuskan pertama kali nama sociology dalam bukunya yang berjudul Positive Philoshopy yang terbit pada tahun 1838 (Sebenarnya ada tokoh lain, yaitu John Stuart Mill yang mengusulkan nama ilmu baru itu adalah Ethologi, tetapi yang lebih banyak diterima adalah sosiologi). Pada waktu itu Comte menganggap bahwa semua penelitian tentang masyarakat telah mencapai tahap terakhir, yakni tahap ilmiah atau tahap positif, oleh karenanya ia menyarankansemua penelitian tentang masyarakat ditingkatkan menjadi ilmu yang berdiri sendiri, lepas dari filsafat yang merupakan induknya. Pandangan Comte yang dianggap baru pada waktu itu adalah bahwa sosiologi harus didasarkan pada observasi dan klasifikasi yang sistematis, dan bukan pada kekuasaan serta spekulasi.
Menurut Comte ada tiga tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumnya. Tahap pertama dinamakan tahap theologis, kedua adalah tahap metafisik, dan ketiga adalah tahap positif. Pada tahap pertama manusia menafsirkan gejala-gelajala di sekelilingnya secara teologis, yaitu dengan kekuatan adikodrati yang dikendalikan oleh roh, dewa, atau Tuhan yang Maha Kuasa.
Pada tahap kedua manusia mengacu pada hal-hal metafisik atau abstrak, dan pada tahap ketiga manusia menjelaskan fenomena-fenomena ataupun gejala-gejala dengan menggunakan metode ilmiah, atau didasarkan pada hukum-hukum ilmiah. Di sinilah sosiologi sebagai penjelasan ilmiah (positif) mengenai masyarakat, dan karena pandangannya ini, maka Comte juga dikenal sebagai Bapak Positivisme.
Dalam sistematika Comte, sosiologi terdiri atas dua bagian besar, yaitu: (1) sosiologi statik, dan (2) sosiologi dinamik. Sosiologi statik diibaratkan dengan anatomi sosial/masyarakat, sehingga yang dibicarakan adalah tentang unsur-unsur atau komponen-komponen pembentuk masyarakat, seperti nilai dan norma sosial, kelompok dan kelas sosial, dan lembaga sosial, sedangkan sosiologi dinamik berbicara tentang proses-proses yang terjadi dalam kelompok atau masyarakat, seperti interaksi, asosiasi, diferensiasi, sosialisasi, institusionalisasi, dan sebagainya, termasuk perubahan-perubahan sosial.

b. Perkembangan Sosiologi setelah Comte
Istilah sosiologi menjadi lebih populer setelah setengah abad kemudian berkat jasa dari Herbert Spencer, ilmuwan Inggris, yang menulis buku berjudul Principles of Sociology (1876), yang mengulas tentang sistematika penelitian masyarakat.
Perkembangan sosiologi semakin mantap, setelah pada tahun 1895 seorang ilmuwan Perancis bernama Emmile Durkheim menerbitkan bukunya yang berjudul Rules of Sociological Method. Dalam buku yang melambungkan namanya itu, Durkheim menguraikan tentang pentingnya metodologi ilmiah dan teknik pengukuran kuantitatif di dalam sosiologi untuk meneliti fakta sosial. Misalnya dalam kasus bunuh diri (suicide). Angka bunuh diri dalam masyarakat yang cenderung konstan dari tahun ke tahun, dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari luar individu. Dalam suatu jenis bunuh diri yang dinamakan altruistic suicide disebabkan oleh derajat integrasi sosial yang sangat kuat. Misalnya dalam satuan militer, dapat saja seorang anggota mengorbankan dirinya sendiri demi keselematan satuannya. Sebaliknya, dalam masyarakat yang derajat integrasi sosialnya rendah, akan mengakibatkan terjadinya bunuh diri egoistik (egoistic suicide). Derajat integrasi sosial yang rendah dapat disebabkan oleh lemahnya ikatan agama ataupun keluarga. Seseorang dapat saja melakukan bunuh diri karena tidak tahan menderita penyakit yang tidak kunjung sembuh, di lain sisi ia merasa tidak mempunyai ikatan apapun dengan anggota keluarga atau masyarakat yang lain. Pada masyarakat yang dilanda kekacauan,anggota-anggota masyarakat yang merasa bingung karena tidak adanya norma-norma yang dapat dijadikan pedoman untuk mencapai kebutuhan-kebutuhan hidupnya, dapat saja melakukan bunuh diri jenis anomie (anomic suicide). Berbagai macam jenis bunuh diri ini, oleh Durkheim dinyatakan sebagai peristiwa yang terjadi bukan karena faktor-faktor internal individu, melainkan dari pengaruh faktor-faktor eksternal individu, yang disebut fakta sosial.
Banyak pihak kemudian mengakui bahwa Durkheim sebagai ”Bapak Metodologi Sosiologi”. Durkheim bukan saja mampu melambungkan perkembangan sosiologi di Perancis, tetapi bahkan berhasil mempertegas eksistensi sosiologi sebagai bagian dari ilmu pengetahuan ilimiah (sains) yang terukur, dapat diuji, dan objektif. Menurut Durkheim, tugas sosiologi adalah mempelajari apa yang disebut fakta sosial. Fakta sosial adalah cara-cara bertindak, berfikir, dan berperasaan yang berasal dari luar individu, tetapi memiliki kekuatan memaksa dan mengendalikan individu. Fakta sosial dapat berupa kultur, agama, atau isntitusi sosial.
Perintis sosiologi yang lain adalah Max Weber. Pendekatan yang digunakan Weber berbeda dari Durkheim yang lebih menekankan pada penggunaan metodologi dan teknik-teknik pengukuran kuantitatif dari pengaruh faktor-faktor eksternal individu. Wever lebih menekankan pada pemahaman di tingkat makna dan mencoba mencari penjelasan pada faktor-faktor internal individu. Misalnya tentang tindakan sosial. Tindakan sosial merupakan perilaku individu yang diorientasikan kepada pihak lain, tetapi bermakna subjektif bagi aktor atau pelakunya. Makna sebenarnya dari suatu tindakan hanya dimengerti oleh pelakukunya. Tugas sosiologi adalah mencari penjelasan tentang makna subjektif dari tindakan-tindakan sosial yang dilakukan oleh individu.



1.3 Karakteristik Sosiologi
Sebagai ilmu, sosiologi memiliki sifat hakikat atau karakteristik sosiologi:
a. Merupakan ilmu sosial, bukan ilmu kealaman ataupun humaniora. Ilmu sosial merupakan ilmu yang objeknya adalah masyarakat (contohnya sosiologi, ilmu politik, ekonomi, komunikasi, psikologi sosial, geografi sosial, hubungan internasional, dan sebagainya), ilmu kealaman objeknya adalah gejala-gejala alam baik yang bersifat fisik, khemis, maupun biologis (contohnya: fisika, kimia, biologi, geografi alam, geologi, astronomi, matematika, antropologi ragawi, dan sebagainya), sedangkan ilmu humaniora objeknya adalah manusia dan segenap aspeknya (contoh: sejarah, antropologi budaya, filsafat, seni, agama, sastra dan bahasa).
b. Bersifat empirik-kategorik, bukan normatif atau etik; artinya sosiologi berbicara apa adanya tentang fakta sosial secara analitis, bukan mempersoalkan baikburuknya fakta sosial tersebut. Bandingkan dengan pendidikan agama atau pendidikan moral.
c. Merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat umum, artinya bertujuan untuk menghasilkan pengertian dan pola-pola umum dari interaksi antar-manusia dalam masyarakat, dan juga tentang sifat hakikat, bentuk, isi dan struktur masyarakat.
d. Merupakan ilmu pengetahuan murni (pure science), bukan ilmu pengetahuan terapan (applied science). Ilmu murni merupakan ilmu yang kajian-kajiannya tidak dapat secara langsung digunakan/diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk ilmu murni adalah sosiologi, sejarah, politik, astronomi, biologi, fisika, kimia, dan sebagainya; sedangkan ilmu terapan adalah ilmu yang kajian-kajiannya dapat secara langsung digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti akuntansi, kedokteran, farmasi, komunikasi, navigasi, dan sebagainya.
e. Merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak dan bersifat teoritis. Dalam hal ini objek sosiologi bukanlah benda-benda fisik atau yang secara nyata tampak oleh mata kepala, melainkan bersifat imajiner, sehingga sosiologi selalu berusaha untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Misalnya tentang struktur sosial masyarakat yang terdiri atas lapisan atas, menengah, dan bawah; pengertian atas, menengah, dan bawah ini merupakan abstraksi dari kenyataan dalam masyarakat dan bersifat imaginer.

1.4 Metode Sosiologi
a. Sosiologi adalah ilmu
Bukan akal sehat (common sense), tahayul (superstition), gagasan (idea), atau faham (ideology) Ilmu (science) berbeda dengan pengetahuan (knowledge). Ilmu merupakan pengetahuan yang tersusun sistematik dengan menggunakan kekuatan pemikiran dan selalu dapat diperiksa dan ditelaah (dikontrol) dengan kritis oleh setiap orang lain yang ingin mengetahuinya. Sedangkan pengetahuan merupakan kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya. Pengetahuan tidak sama dengan kepercayaan dan takhayul. Pengetahuan juga berbeda dengan gagasan (buah fikiran). Meskipun demikian, buah fikiran atau gagasan merupakan bahan yang berharga bagi seorang ilmuwan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Pengetahuan juga berbeda dengan akal sehat (common sense), yakni kumpulan dugaan, firasat ataupun gagasan yang didasarkan pada ketidaktahuan ataupun prasangka. Apabila kita menyebutnya sebagai akal sehat, maka kita merasa tidak perlu pembuktian, karena dianggap sudah dibuktikan oleh pengalaman.
Perhatikan perbandingan antara akal sehat dengan ilmu dalam menelaah persoalan berikut. Akal sehat mengatakan kepada kita, bahwa: Penelaahan ilmiah menemukan:
Pria lebih tahan terhadap penderitaan dan tantangan dari pada wanita Ketahanan antara pria dan wanita terhadap tantangan dan penderitaan adalah sama Pilek disebabkan oleh hawa dingin dan kaki basah Pilek disebabkan oleh virus Karakter seseorang tampak dari raut mukanya Tidak ada hubungan antara raut muka dengan karakteristik kepribadian Seseorang yang menipu dalam permainan kartu akan menipu pula dalam pekerjaan Kejujuran seseorang dalam suatu situasi hanya sedikit mengungkapkan perilaku orang dalam situasi yang lain Singkirkan rotan maka manjalah anak Anak nakal lebih banyak punya pengalaman dihukum dengan keras dari pada anak yang tidak nakal Orang-orang jenius atau hampir jenius pada umumnya lembut, tidak praktis,tidak stabil dan tidak sukses Tingkat kesehatan, penyesuaian emosi dan pendapatan kelompok jenius atau hampir jenius di atas rata-rata Orang-orang kulit hitam terutama berbakat dalam musik, tetapi kurang dalam kecerdasan Tidak ada bukti yang meyakinkan tentang perbedaan rasial dalam kecerdasan Sumber: Horton dan Hunt, 1999, hal. 5.

b. Metode Sosiologi
Sebagai ilmu, sosiologi memiliki cara kerja yang sistematik untuk memahami berbagai fenomena, permasalahan atau issue yang terjadi dalam hubungan antarmanusia dalam masyarakat. Dari sejarahnya, sosiologi memang berawal dari gejolak masyarakat yang terjadi setelah revolusi industri, di mana banyak orang kemudian meninggalkan desa menuju kota (urbanisasi), ikatan mereka terhadap lahan pertanian dan cara-cara baku memenuhi kebutuhan terputus, dan kota menyambut para urbanit dengan kondisi pekerjaan yang kadang mengerikan: upah rendah, jam kerja yang sangat panjang dan melelahkan, dan kadang cukup berbahaya, sistem kerja kontrak, outsourching, dan sebagainya, yang menghilangkan sisi kehidupan sosial manusia. Masyarakat merasa perlu untuk merevisi cara hidup demikian, dan untuk keperluan itu memerlukan ilmu pengetahuan tentang masyarakat, maka dibutuhkanlah sosiologi.
Meskipun merupakan ilmu murni, bukan berarti sosiologi tidak dapat berfungsi dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai ilmu pengetahuan yang objeknya masyarakat, sosiologi paling tidak mempunyai kegunaan dalam bidang perencanaan pembangunan masyarakat (social engineering) dan penelitian sosial yang berfungsi untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang timbul dalam rangka hubungan antar-manusia dalam masyarakat, di samping memang pada akhir-akhir ini muncul sosiologi terapan.
Dalam hubungan ini, C. Wright Mills memperkenalkan perspektif sosiologi dengan apa yang disebut sebagai the sociological imagination (khayalan sosiologis), yakni suatu khayalan yang memungkinkan kita untuk memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi dan hubungan antara keduanya. Misalnya tentang bagaimana pekerjaan, penghasilan, pendidikan, gender, usia, bahkan ras, etnis, atau kelompok di mana seseorang menjadi anggotanya, mempengaruhi cara hidup seseorang.
Memang tidak selamanya kebenaran ataupun pemecahan masalah diperoleh melalui prosedur atau metode ilmiah. Ada proses-proses non-ilmiah, antara lain: (1) Penemuan kebenaran secara kebetulan. Tidak dapat dipungkiri bahwa penemuanpenemuan besar yang banyak manfaatnya bagi kehidupan manusia di dunia ini ditemukan secara kebetulan. Apakah benua Amerika merupakan penemuan sistematik dari seorang Columbus? Bahkan, enzim urease yang amat berguna bagi manusia ditemukan secara kebetulan oleh Dr. J.S. Summers ketika ia sedang bekerja dengan ekstrak aceton dan bergegas ke lapangan tenis ia menyimpannya ke dalam kulkas. Ketika ia ingin meneruskan pekerjaannya dengan ekstrak tersebut dan membuka kulkas, dilihatnya telah timbul kristal-kristal pada esktrak tersebut; (2)Common sense. Bahwa daging kambing dapat meningkatkan libido seksual, bahwa hukuman merupakan alat utama dalam pendidikan anak, maka menyingkirkan rotan berarti memajakan anak, bahwa pria lebih tahan terhadap tantangan dan penderitaan dari pada wanita, bahwa penyakit pilek disebabkan oleh hawa dingin dan kaki basah, bahwa orang yang menipu ketika bermain kartu akan menipu pula dalam pekerjaannya, bahwa industrialisasi mengancam religiusitas, bahwa orang berkacamata adalah orang yang cerdas, orang kulit hitam berbakat dalam music tetapi kurang dalam kecerdasan, bahwa orang cerdas susah diatur untuk melangsungkan upacara bendera, dan seterusnya adalah common sense. Common sense adalah kumpulan gagasan atau dugaan, firasat dan hasil belajar coba-coba dari sekelompok masyarakat yang tidak diketahui asal-usulnya dan apa yang melandasi dugaan atau gagasan tersebut, namun diikuti begitu saja. Banyak juga common sense yang baik, masuk akal (sehingga sering disebut akal sehat), sederhana dan bermanfaat. Namun banyak juga yang tidak benar dan tidak bermanfaat, dan menghasilkan prasangka, misalnya tentang ras, bahwa ras kulit hitam tidak lebih cerdas dari ras kulit putih; (3) Menemukan kebenaran melalui intuisi. Intuisi merupakan manifestasi intelegensi yang metarasional (Hidayat Nata atmadja, 1982:22). Kebenaran melalui intuisi diperoleh secara cepat tanpa melalui langkah-langkah sistematik, penalaran, proses berfikir ataupun perenungan; (4) Kebenaran wahyu (revelasi). Menurut comte, sebelum orang berfikir positif, maka adalah tahapan theologis dan metafisika, bahwa segala sesuatu lebih banyak ditentukan oleh “sesuatu yang bersifat ghaib” dan berada di luar kemampuan manusia. Wahyu diturunkan oleh Allah melalui para nabi dan rasul, sehingga bukan merupakan usaha penalaran manusia, maka tidak dapat disebut kebenaran ilmiah. Meskipun demikian bagi orang-orang yang beragama, kebenaran wahyu merupakan kebenaran yang mutlak dan hakiki. Bahkan disebut sebagai tingkat kebenaran yang tertinggi (the ultimate truth); (5) Penemuan kebenaran melalui trial and error. Ketika ilmu pengetahuan dalam tahap embrional, orang menemukan kebenaran melalui upaya mencoba sesuatu, kemudian apabila ternyata keliru ia akan mencoba lagi, mencoba lagi dan mencoba lagi sampai didapat pemecahan yang dipandang memuaskan. Sutrisno hadi menyatakan bahwa trial and error merupakan perkembangan yang pertama kali dalam tahap-tahap metode ilmiah; (6) Penemuan kebenaran melalui spekulasi. Spekulasi merupakan upaya menemukan kebenaran yang lebih tinggi tingkatnya dari trial and error. Dalam berspekulasi orang sudah mendasarkan diri pada pertimbangan, biarpun pertimbangan tersebut kurang matang dan dikerjakan dalam suasana yang penuh resiko; (7) Kharisma. Pernyataan atau pendapat dari seorang ilmuwan, tokoh atau pemimpin politik yang berbobot tinggi ataupun yang memiliki otoritas dalam suatu bidang ilmu tertentu dan mempunyai banyak pengalaman sering diterima begitu saja tanpa perlu diuji kebenarannya. Bagaimana sosiologi menggambarkan berbagai fenomena ataupun permasalahan yang muncul dalam masyarakat? Tentu berbeda dari cara-cara nonilmiah tersebut. Sebagai ilmu, sosiologi mendasarkan pada bukti yang dapat diuji. Yang dimaksud “bukti” adalah pengamatan faktual yang dapat dilihat, ditimbang, dihitung dan diperiksa ketelitiannya oleh para pengamat lainnya.
Dengan kata lain, sosiologi mendasarkan pada observasi ilmiah sebagai teknik dasar metode ilmiah. Metode atau observasi ilmiah tidaklah sama dengan sekedar “melihat sesuatu”, tetapi merupakan observasi yang dilakukan secara: (1) cermat, (2) tepat, (3) sistematik, (4) objektif, (5) dilakukan oleh orang-orang yang terlatih, dan (6) dilaksanakan dalam kondisi yang terkendali. John Dewey (1933) memberikan garis-garis besar dari apa yang disebut metode ilmiah yang meliputi Lima taraf, yakni: (1) the felt need, (2) the problem, (3) the hypothesis, (4) collection of data as evidence, dan (5) concluding bilief. Kelley melengkapinya dengan satu taraf lagi, yakni; (6) general value of conclusion. Berikut akan dijelaskan satu per satu. The felt need. Dalam taraf ini orang merasakan kesulitan untuk menyesuaikan dirinya terhadap kebutuhan atau tujuan-tujuan masyarakat, atau untuk menemukan ciri-ciri dari suatu objek, atau untuk menerangkan sesuatu kejadian yang terjadi tiba-tiba dan tidak terduga. The problem. Orang merumuskan kesulitan-kesulitan itu sebagai masalah atau problema, yakni sesuatu yang terjadi dalam kenyataan (das sein) namun tidak sesuai dengan harapan (das sollen), atau sebagai sesuatu yang tidak diketahui who, what, where, when, why dan how-nya. The hypothesis. Langkah yang ketiga adalah mengajukan kemungkinan pemecahannya atau mencoba menerangkannya, berupa terkaan-terkaan, kesimpulan sementara, teori-teori, kesan-kesan umum, atau apapun yang masih belum dapat dipandang sebagai sebuah konklusi yang final. Collection of data as evidence. Selanjutnya bahan-bahan, informasi-informasi, atau bukti-bukti dikumpulkan, dan melalui pengolahan-pengolahan yang logis dan sistematik dijadikan bukti atas hipotesis yang telah dirumuskan. Concluding bilief. Berdasarkan bukti-bukti yang sudah diolah maka akan terbukti hipotesis, teori atau kesan-kesan yang telah dirumuskan apakah “benar” atau “salah”, “diterima” atau “ditolak”. General value of the conclusion. Akhirnya, apabila suatu pemecahan masalah telah dipandang tepat, maka disimpulkan implikasi-implikasinya untuk masa depan.
Metode kualitatif dan kuantitatif Seperti halnya ilmu sosial yang lain, sosiologi menawarkan dua macam metode, yakni: (1) kualitatif, dan (2) kuantitatif. Metode kualitatif berupaya menjelaskan makna dari fenomena-fenomena atau peristiswa-peristiwa yang nyata terjadi dalam masyarkat namun sukar diukur dengan angka-angka atau dengan ukuran-ukuran lain yang bersifat eksak. Sedangkan metode kuantitatif berupaya menjelaskan fenomena-fenomena atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat menggunakan data yang berupa angka-angka. Metode kuantitatif dalam sosiologi diperkenalkan oleh Emmile Durkheim (1968) dalam penelitiannya tentang lajubunuh diri. Durkheim menggambarkan laju bunuh diri dengan angka bunuh diri dalam tiap masyarakat yang dari tahun ke tahun cenderung konstan. Laju bunuh diri dipengaruhi oleh derajat integrasi sosial, sehingga adalah: (1) bunuh diri altruistik, terjadi karena derajat integrasi sosial yang terlalu kuat, (2) bunuh diri egoistik, terjadi ketika derajat integrasi sosial terlalu lemah, dan (3) bunuh diri anomi, terjadi karena masyarakat tidak memberikan pegangan kepada seseseorang.
Prosedur deduktif dan induktif Berbeda dengan antropologi yang cenderung meneliti pada masyarakat yang kecilkecil kemudian hasilnya diterapkan untuk masyarakat yang lebih besar (induktif), sosiologi lebih cenderung untuk menggunakan main atau grand teori untuk diterapkan pada masyarakat-masyarakat yang lebih kecil (deduktif). Tapi pada dasarnya dua cara atau metode berfikir ini digunakan dalam sosiologi maupun antropologi. Bagaimana data sosiologi dikumpulkan, dianalisis, diinterpretasi, dan akhirnya diambil simpulan? Dalam usaha mengumpulkan data yang dapat menghasilkan temuan-temuan baru, para ahli sosiologi memperhatikan tahap-tahap penelitian, yang saling berkaitan secara erat. Sebelum melakukan suatu penelitian terlebih dahulu harus dilakukan peninjauan terhadap bahan-bahan pustaka untuk mengetahui penemuan-penemuan sebelumnya. Setelah merumuskan tujuan penelitian, peneliti harus menentukan metode pengumpulan data yang akan digunakannya. Dalam ilmu-ilmu sosial dikenal bebagai metode pengumpulan data, seperti metode survai serta beberapa metode nonsurvai seperti metode riwayat hidup, studi kasus, analisa isi, kajian data yang telah dilumpulkan oleh pihak lain, dan eksperimen. Dalam penelitian survai hal-hal yang diteliti dituangkan dalam suatu daftar pertanyaan. Teknik survai mengandung persamaan dengan sensus; namun pada sensus yang menjadi subyek wawancara adalah seluruh populasi sedangkan dalam teknik survai daftar pertanyaan diajukan pada sejumlah subyek penelitian yang dianggap mewakili populasi (sampel). Pengamatan (observasi) merupakan teknik pengumpulan data penelitian di mana peneliti mengamat secara lansung perilaku para subjek penelitiannya dan merekam perilaku yang wajar, asli, tidak dibuat-buat, spontan dalam kurun waktu relativf lama sehingga terkumpul data yang bersifat mendalam dan rinci.
Dalam sosiologi dibedakan antara penelitian di mana pengamat (1) sepenuhnyaterlibat dalam kehidupa sehari-hari masyarakat yang diteliti (observasi partisipatif), dan (2) hanya berperan sebagai pengamat yang sepenuhnya melakukan pengamatan tanpa keterlibatan apapun dengan subyek penelitian (observasi nonpartisipatif). Salah satu kelebihan pengamatan terlibat (obervasi partisipatif) bila dibandingkan dengan survai ialah bahwa pengamatan terlibat lebih memungkinkan terjalinnya hubungan yang akrab antara peneliti dengan subjek penelitiannya, dan subjek penelitian tidak menyadari kalau sedang diteliti atau diamati. Di samping dengan cara pengamatan (observasi), data sosiologi dapat digali dengan menggunakan angket/daftar pertanyaan ataupun wawancara. Dalam pencarian maupun pengamatan ilmu seorang ilmuwan harus menghormati aturan etika, seperti keikutsertaan secara sukarela, tidak membawa cedera bagi subyek penelitian, asas anonimitas dan kerahasiaan, tidak memberikan keterangan yang keliru, dan menyajikan data penelitian secara jujur.

1.5 Kegunaan Sosiologi dan Peran Sosiologi
Sosiologi dipelajari untuk apa? Dengan pertanyaan lain mengapa kita belajar sosiologi? Sebenarnya di mana dan sebagai apa seorang sosiolog dapat berkiprah, tidak mungkin dapat dibatasi oleh sebutan-sebutan dalam administrasi okupasi (pekerjaan/mata pencaharian) resmi yang dileluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Di beberapa negara telah muncul pengakuan terhadap sumbagan dan peran sosiolog di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Sebagian besar sosiolog mengajar di perguruan tinggi.
Horton dan Hunt (1987) menyebutkan beberapa profesi yang pada umumnya diisi oleh para sosiolog: (1) ahli riset, baik itu riset ilmiah (dasar) untuk perkembangan ilmu pengetahuan ataupun riset yang diperlukan untuk kepentingan industri (praktis), (2) konsultan kebijakan, khususnya untuk membantu untuk memprediksi pengaruh sosial dari suatu kebijakan dan/atau pembangunan, (3) sebagai teknisi atau sosiologi klinis, yakni ikut terlibat di dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program kegiatan dalam masyarakat, (4) sebagai pengajar/pendidik, dan (5) Sebagai pekerja sosial (social worker).
Di luar profesi yang disebutkan oleh Horton dan Hunt tersebut, tentu masih banyakprofesi yang dapat digeluti oleh seorang sosiolog. Banyak bukti menunjukkan, bahwa dengan kepekaan dan semangat keilmuannya yang selalu berusaha membangkitkan sikap kritis, para sosiologi banyak yang berkarier cemerlang di berbagai bidang yang menuntut kreativitas, misalnya dunia jurnalistik. Di jajaran birokrasi, para sosiolog sering berpeluang menonjol dalam karier karena kelebihannya dalam dalam visinyaatas nasib rakyat.
Seiring dengan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, keterlibatan para sosiolog di berbagai bidang kehidupan akan semakin penting dan sangat diperlukan. Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat akan menuntut penyesuaian dari segenap komponen masyarakat yang menuntut kemampuan mengantisipasi keadaan baru. Para sosiolog pada umumnya unggul dalam hal penelitian sosial, sehingga perannya sangat diperlukan.
Sumber: Agus Santoso

Tidak ada komentar:

Posting Komentar